Oleh: pinjambuku | 20 Oktober 2007

Orang Jawa Berpuasa

Orang Jawa Berpuasa

 

Seorang teman dari luar Jawa yang baru beberapa bulan ini tinggal di Yogyakarta terheran-heran dengan tradisi ramadhan orang Jawa. Ia heran ketika membaca berita-berita dilaksanakannya acara bersih desa, sadranan, atau kegiatan lain sebulan sebelum bulan puasa, di bulan Ruwah dalam hitungan kalender Jawa. Ia bahkan jadi tidak habis pikir ketika mengalami sendiri keriuhan dan keramaian pada acara padusan, sehari sebelum puasa dilaksanakan.

Saat malam tarawih pertama dilaksanakan, ia ikut berjamaah di sebuah masjid kampung. Lengkap sudah kebingungannya, kali ini sebab tidak tahu apa isi ceramah tarawih atau kultum—kuliah tujuh menit—yang disampaikan dengan pengantar bahasa Jawa. Ternyata semua itu masih belum cukup. Dini hari ketika waktu sahur tiba, ia terheran-heran dengan keramaian lingkungan tempat ia kost yang dipenuhi lalu-lalang orang mencari makan sahur. Sorenya, ia bingung dengan keramaian jalanan menjelang puasa, dengan sekian banyak penjual makanan yang sebagian besar di antaranya dilakukan oleh anak-anak muda, bermobil pula.

            Situasi yang demikian itu bisa jadi banyak dialami oleh para pelajar dan mahasiswa pendatang yang baru beberapa bulan ini tinggal di Yogyakarta. Ada berbagai kemungkinan tanggapan mereka atas fenomena tadi. Barangkali sebagian mereka terheran-heran seperti teman saya, atau menikmatinya sebagai pengalaman baru. Mungkin saja ada yang tak peduli atau bahkan langsung antipati, entah karena merasa tidak memiliki waktu dan kepentingan untuk bersinggungan dengan semua itu atau sebab pilihan pribadi kehidupan beragamanya yang tidak bisa menerima kehidupan beragama ala masyarakat Jawa. Orang Jawa memberi petuah bijak untuk situasi yang demikian, yakni: ojo gumunan, ojo kagetan—jangan mudah dibuat heran, jangan mudah dibuat kaget;  jangan gampang terpesona.

            Bagaimana dengan kita sendiri, masyarakat Jawa sebagai pemilik, pelaku, dan penerus tradisi dan budaya dalam kaitannya dengan keberagamaan kita itu? Kultum dengan bahasa Jawa, meski masih ada rasanya tinggal sebagian kecil saja yang menggunakannya. Barangkali karena kita sendiri mulai terbiasa dengan bahasa Indonesia dan Inggris gado-gado. Dengan demikian, rasanya terlalu berlebihan jika mereka yang dari luar daerah kita harapkan untuk belajar dan memahami bahasa Jawa kita.  

Sementara itu, ruwahan dan sadranan kian lama kian kehilangan gemanya, tinggal sebagian wilayah saja yang masih melaksanakannya. Padusan lebih memprihatinkan lagi, tradisi bersih diri dan mensucikan niat menyambut bulan puasa itu kini berubah menjadi ajang wisata jasmani, lengkap dengan keseronokan dan kemacetan jalanan, bahkan sampai saat adzan isya, dan tarawih, mulai berkumandang. Hal yang hampir mirip kini berulang setiap hari, lalu lintas macet dipenuhi oleh keseronokan menyambut waktu berbuka puasa, lagi-lagi sampai waktu maghrib telah jauh lewat.

Bisa jadi permasalahannya memang tidak lagi soal Jawa atau bukan Jawa. Yogyakarta boleh ditempatkan sebagai salah satu dari pusat terpenting kebudayaan Jawa, tetapi kota ini adalah juga melting pot pertemuan beraneka suku dan bangsa dari seluruh penjuru Nusantara, bahkan dunia. Sudah tentu segenap hiruk-pikuk dan segala keseronokan itu tidak hanya menjadi tanggung jawab orang-orang Jawa. Lagi pula, bagian mana dari negeri ini yang tidak dilanda karut-marut globalisasi yang kian lama semakin membikin bingung dan frustasi, yang berujung pada perubahan sosial dan kultural yang seringkali tidak kita mengerti? Jika demikian, apakah kita hanya bisa mengelus dada sambil bergumam untuk diri kita sendiri, ojo gumunan, ojo kagetan….

Ditulis ketika ramadhan, suatu ketika, 2007.


Tanggapan

  1. Di jakarta orang jawa dikatakan jawir, ngomong dengan bahasa jawa diterikain roaming, dan di bialng kampung.
    Anehnya mereka itu orang jawa juga yang ber KTP DKI.

  2. Orang Jawa Berpuasa

    Seorang teman dari luar Jawa yang baru beberapa bulan ini tinggal di Yogyakarta terheran-heran dengan tradisi ramadhan orang Jawa. Ia heran ketika membaca berita-berita dilaksanakannya acara bersih desa, sadranan, atau kegiatan lain sebulan sebelum bulan puasa, di bulan Ruwah dalam hitungan kalender Jawa. Ia bahkan jadi tidak habis pikir ketika mengalami sendiri keriuhan dan keramaian pada acara padusan, sehari sebelum puasa dilaksanakan.

    Saat malam tarawih pertama dilaksanakan, ia ikut berjamaah di sebuah masjid kampung. Lengkap sudah kebingungannya, kali ini sebab tidak tahu apa isi ceramah tarawih atau kultum—kuliah tujuh menit—yang disampaikan dengan pengantar bahasa Jawa. Ternyata semua itu masih belum cukup. Dini hari ketika waktu sahur tiba, ia terheran-heran dengan keramaian lingkungan tempat ia kost yang dipenuhi lalu-lalang orang mencari makan sahur. Sorenya, ia bingung dengan keramaian jalanan menjelang puasa, dengan sekian banyak penjual makanan yang sebagian besar di antaranya dilakukan oleh anak-anak muda, bermobil pula.

    Situasi yang demikian itu bisa jadi banyak dialami oleh para pelajar dan mahasiswa pendatang yang baru beberapa bulan ini tinggal di Yogyakarta. Ada berbagai kemungkinan tanggapan mereka atas fenomena tadi. Barangkali sebagian mereka terheran-heran seperti teman saya, atau menikmatinya sebagai pengalaman baru. Mungkin saja ada yang tak peduli atau bahkan langsung antipati, entah karena merasa tidak memiliki waktu dan kepentingan untuk bersinggungan dengan semua itu atau sebab pilihan pribadi kehidupan beragamanya yang tidak bisa menerima kehidupan beragama ala masyarakat Jawa. Orang Jawa memberi petuah bijak untuk situasi yang demikian, yakni: ojo gumunan, ojo kagetan—jangan mudah dibuat heran, jangan mudah dibuat kaget; jangan gampang terpesona.

    Bagaimana dengan kita sendiri, masyarakat Jawa sebagai pemilik, pelaku, dan penerus tradisi dan budaya dalam kaitannya dengan keberagamaan kita itu? Kultum dengan bahasa Jawa, meski masih ada rasanya tinggal sebagian kecil saja yang menggunakannya. Barangkali karena kita sendiri mulai terbiasa dengan bahasa Indonesia dan Inggris gado-gado. Dengan demikian, rasanya terlalu berlebihan jika mereka yang dari luar daerah kita harapkan untuk belajar dan memahami bahasa Jawa kita.

    Sementara itu, ruwahan dan sadranan kian lama kian kehilangan gemanya, tinggal sebagian wilayah saja yang masih melaksanakannya. Padusan lebih memprihatinkan lagi, tradisi bersih diri dan mensucikan niat menyambut bulan puasa itu kini berubah menjadi ajang wisata jasmani, lengkap dengan keseronokan dan kemacetan jalanan, bahkan sampai saat adzan isya, dan tarawih, mulai berkumandang. Hal yang hampir mirip kini berulang setiap hari, lalu lintas macet dipenuhi oleh keseronokan menyambut waktu berbuka puasa, lagi-lagi sampai waktu maghrib telah jauh lewat.

    Bisa jadi permasalahannya memang tidak lagi soal Jawa atau bukan Jawa. Yogyakarta boleh ditempatkan sebagai salah satu dari pusat terpenting kebudayaan Jawa, tetapi kota ini adalah juga melting pot pertemuan beraneka suku dan bangsa dari seluruh penjuru Nusantara, bahkan dunia. Sudah tentu segenap hiruk-pikuk dan segala keseronokan itu tidak hanya menjadi tanggung jawab orang-orang Jawa. Lagi pula, bagian mana dari negeri ini yang tidak dilanda karut-marut globalisasi yang kian lama semakin membikin bingung dan frustasi, yang berujung pada perubahan sosial dan kultural yang seringkali tidak kita mengerti? Jika demikian, apakah kita hanya bisa mengelus dada sambil bergumam untuk diri kita sendiri, ojo gumunan, ojo kagetan….


Tinggalkan komentar

Kategori